Dengan bangga dibuat dengan ♥ di Polandia

Karya Tien Kumalasari

Murni baru saja pulang dari bekerja. Dengan perut semakin besar, ia menjadi semakin gampang merasa lelah. Ia sedang rebahan di ranjang, ketika ibunya menelpon.

“Ya Mur, ini simbok. Sedang apa kamu?”

“Sedang rebahan di kamar Mbok.”

“Sebetulnya simbok pengin itu lho Mur, kalau telponan, bisa kelihatan wajahnya itu lho, jadi simbok bisa melihat wajah kamu.”

“O, iya Mbok, sebetulnya bisa, tapi kan ponsel simbok itu jadul. Jadi nggak bisa dibuat vidio call, besok, kapan-kapan, Murni belikan Simbok ponsel yang bisa untuk video call ya.”

“Iya, sekarang ini, yang penting bisa ngomong, biarpun berjauhan. Dan yang penting juga, Simbok sehat. Ya kan?”

“Iya, kamu juga harus sehat lho Mur, dan jangan terlalu capek.”

“Iya Mbok. Bagaimana kabar pak Broto dan bu Broto?”

“Waduh Mur, bu Broto tadi dibawa ke rumah sakit.”

“Ceritanya panjang Mur. Tadi itu, pagi-pagi sekali pak Restu datang.”

Murni langsung merasa mual mendengar nama Restu disebut. Tapi dia harus mendengar simboknya bicara, agar simboknya tidak curiga.

“Masih pagi sekali, gerbang masih digembok. Simbok keluar lebih dulu mendengar gerbang diketuk-ketuk, ternyata yang datang pak Restu. Ya ampun Mur, simbok kabet banget. Tiba-tiba pak Restu merangkul simbok sambil menangis, dan bilang minta maaf berkali-kali. Simbok jadi bingung, kenapa dia minta maaf sama simbok.”

“Lalu dia bilang apa lagi?” Murni terpaksa menyahut, khawatir kalau simboknya mencurigai sesuatu.

“Dia terus meminta maaf, lalu simbok bertanya, ada apa minta maag=f sama yu Sarni?”

“Dia jawab apa?” potong Murni lagi.

Dia belum menjawab, tapi pak Broto sudah berteriak memanggil.”

Murni bernapas lega. Memang tampaknya simboknya tidak tahu apa-apa tentang kejadian itu.

Lalu yu Sarni bercerita tentang kemarahan bu Broto yang entah karena apa, lalu tiba-tiba sakit danpak Broto membawanya ke rumah sakit. Mungkin karena pak Restu tidak bermaksud pulang ke rumah.

“O, ya ampun. Murni jadi sedih. Ingin melihat bu Broto.”

“Ya, sudah Mur, nanti simbok kabari kalau ada apa-apa. Kamu harus jaga diri baik-baik ya.”

“Ya. Simbok juga ya.”

Murni meletakkan ponselnya dan menghela napas lega. Siapa suruh dia berbohong sama simboknya. Bukankah demi menutupi kebohongan yang satu maka dia harus berbohong lagi dan lagi? Ini terasa sangat melelahkan.

Usia kandungan sudah lima bulan, dan dia merasa sehat-sehat saja. Ia mengelus perutnya perlahan, dan rasa sayangnya kepada bayi yang dikandungnya bertambah besar. Tiba-tiba ia teringat kata Wulan, bahwa bayi yang kelak dilahirkannya akan menjadi anak Wulan. Murni terus mengelus perutnya, lalu air matanya menitik tiba-tiba. Bayi ini darah dagingnya. Ketika dia ingin melenyapkannya, adalah dosa. Bagaimana kalau dia kemudian menyerahkannya kepada orang lain? Rasa sesal menggayuti hatinya. Ia mendekap perutnya erat.

“Tidak, ini bayiku, hat=rus aku yang merawatnya. Tetaplah aku yang menjadi ibunya, gumamnya pelan.

Dan perubahan perasaan itu membuatnya tak rela melepaskannya kelak.

Lalu dia teringat kata simboknya ketika menelpon tadi, bahwa Restu meminta maaf kepadanya, serta nyaris mengatakan sebabnya, kalau saja pak Broto tidak memanggilnya. Pasti Restu akan mengulanginya, apalagi beberapa hari yang lalu ia bertemu Restu, dan kemudian Restu seperti ingin mengejarnya. Meremang bulu kuduk Murni membayangkan bertemu dengan Restu. Ingatan akan malam yang menyakitkan itu, membuat rasa bencinya tak akan bisa terobati selamanya.

“Apa yang harus aku lakukan?”

Murni sangat gelisah, dan keinginan untuk melepaskan lelah justru membuatnya kelelahan. Lelah lahir dan juga batinnya.

Wulan masih menunggui bu Broto yang tampak tidak tenang. Ia memejamkan matanya dan berusaha tidur, tapi sebentar kemudian terjaga.

“Bapakmu belum kembali?”

Bu Broto tampak gelisah. Raut mukanya menjadi pucat tak bersemangat.

“Bapakmu kan bilang, kalau belum menemukan Restu tidak akan pulang?”

“Bagaimana kalau sampai berhari-hari kemudian ternyata memang tidak bisa menemukan?”

“Ibu tenang saja. Bapak pasti bisa menemukan kok,” hibur Wulan.

“Kamu jangan menganggap enteng masalah ini Wulan. Bapakmu itu, kalau ngomong, selalu ditepatinya. Kalau dia bilang tidak akan pulang sebelum menemukan Restu, pasti dia benar-benar tak akan pulang.”

“Bagaimana kalau Ibu menelpon bapak?”

“Aduh, masa aku harus menelpon?”

“Memangnya kenapa? Ibu minta saja pada bapak, agar cepat pulang, bertemu mas Restu atau tidak, begitu,” goda Wulan yang tampak tenang, karena dia yakin bahwa mereka pasti bisa menemukan Restu karena Rio tahu dimana Restu berada.

“Kok nggak mau? Bukankah Ibu berharap bapak segera pulang?”

“Malu aku,” kata bu Broto sambil memalingkan wajahnya.”

“Kok malu sih Bu, menelpon suami sendiri kok malu,”

“Seharian aku memarahinya, kalau tiba-tiba aku menelpon, ya malu-lah.”

Wulan tertawa, agak keras tawanya, karena benar-benar geli melihat sikap bu Broto.

“Ibu ada-ada saja. Kalau memang Ibu merindukan bapak, Ibu minta agar bapak pulang saja dong.”

“Nggak mau,” bu Broto cemberut, Wulan bertambah geli.

Ketika itulah terdengar ketukan di pintu, lalu Rio masuk. Hanya Rio. Bu Broto tampak menunggu, tapi memang hanya Rio yang masuk.

“Mana bapak?” tanya bu Broto kepada Rio.

“Apa bapakmu tidak mau pulang? Apa Rio tidak ketemu sehingga bapakmu tidak mau pulang?” tanya bu Broto dengan wajah cemas.

Rio mendekati bu Broto, dan memegangi lengannya sambil tersenyum.

“Rio, tolong bilang sama Bapak, besok bisa berangkat mencari lagi, tapi sebaiknya sekarang pulang dulu.”

“Ibu kangen ya sama bapak?” entah siapa yang menyuruh, tiba-tiba Rio kompak mengganggu bu Broto.

“Rio, kamu ini bilang apa? Ya iya lah ibu kangen, bapakmu itu kan suami ibu,” kesal bu Broto.

Tiba-tiba pak Broto muncul.

“Benar, Ibu kangen sama bapak Sudah nggak marah lagi?”

Nah, kok kompak semua nih, gangguin bu Broto.

Bu Broto memalingkan wajahnya, menyembunyikan rasa lega melihat suaminya pulang.

“Bu, bapak senang lho, ibu tidak marah lagi sama bapak. Kok wajahnya menghadap ke sana sih. Jangan bilang ibu masih marah ya, kan ibu bilang kangen tadi,” goda pak Broto sambil berjalan memutar, sehingga bisa menatap wajah bu Broto.

“Jangan senang dulu ya, pokoknya Bapak harus bisa membawa Restu kemari,” ketus bu Broto.

“Bagaimana kalau tidak ketemu, bapak nggak boleh pulang ya. Memang itu keinginan bapak kok.”

Tiba-tiba bu Broto meraih tangan suaminya, menggenggamnya erat.

“Maafkan ibu ya,” katanya lirih, menahan malu.

Rio dan Wulan saling pandang, menahan tawa melihat kemesraan sepasang suami istri yang sudah tidak lagi muda. Mereka pasangan serasi yang selalu menampakkan kasih sayang di setiap harinya. Itu sebabnya Wulan agak heran ketika melihat ibunya sangat marah kepada suaminya. Dan ternyata mereka memang tak bisa menyembunyikan kasih sayang yang selalu terjaga.

“Kalau benar Ibu memaafkan bapak, bapak akan memberi ibu hadiah.”

“Hadiah apa? Ibu tidak suka hadiah lagu, suara bapak tuh sudah nggak merdu, sember, jelek.”

“Baiklah, bukan lagu, ada yang lain kok. Pejamkan dulu mata ibu.”

Seperti anak kecil, bu Broto juga memejamkan matanya.

“Awas ya, jangan dulu di buka, sebelum bapak memintanya.”

Bersambung ke Jilid 34

Your cart is currently empty.

Enable cookies to use the shopping cart

Karya Tien Kumalasari

Wulan dan Rio saling pandang dengan tersenyum lucu, melihat ulah pak Broto dan bu Broto. Mereka kemudian melihat Restu memasuki ruangan setelah pak Broto memberi kode.

Restu berjingkat mendekati pak Broto, dan tersenyum lebar melihat bu Broto memejamkan matanya.

“Sudah apa belum? Sudah capek nih, aku,” seru bu Broto tanpa berani membuka matanya.

“Baiklah Bu, sekarang ibu boleh membuka mata, karena hadiahnya sudah siap di depan ibu.”

Bu Broto membuka matanya perlahan, membayangkan sebuah bungkusan dengan pita merah yang dirangkai seperti bunga mawar. Tapi ia tak melihat bungkusan itu. Yang ada adalah sesosok bayangan seorang laki-laki tampan yang menatapnya haru.

“Inilah hadiah buat Ibu,” kata pak Broto sambil merangkul pundah Restu.

Lalu Restu merangkul ibunya yang kemudian menitikkan air mata karena haru dan bahagia.”

“Syukurlah kamu ditemukan Restu, kalau tidak, bapakmu tak akan pulang,” kata bu Broto sambil masih terus merangkul anaknya.

“Wulan, katakan pada dokter, aku mau pulang. Aku ingin masak yang enak untuk Restu.”

“Bu, ini sudah malam, dokternya sudah pulang,” kata Wulan.

“Aku tidak sakit, mengapa dibawa ke sini?”

“Besok kalau dokternya visite kemari, ibu boleh bilang sama dokternya. Kalau Ibu sudah dinyatakan sehat, pasti diijinkan pulang.”

“Aku kan tidak sakit, ini akal-akalan ayah kamu saja.”

“Ibu tidak tahu ya? Tadi tuh ibu sampai lemas, dan agak panas. Mana bisa aku membuarkannya.”

“Aku lemas, karena tidak makan seharian,” kata bu Broto sambil memegangi perutnya, membuat semua orang tertawa.

“Bolehkah keluar? Aku mau makan di luar.”

“Tidak boleh Bu, kan Ibu masih diinfus? Ibu ingin makan apa, nanti Rio belikan. Untuk makan bersama-sama disini,” kata Rio. Wulan ikut mengangguk setuju.

“Ide bagus, aku juga lapar,” kata pak Broto.

Rio menggamit lengan istrinya, kemudian keduanya keluar dari ruangan.

“Restu, apa kamu menyesal karena telah tidak mempedulikan istri kamu selama hidup bersama?”

“Banyak yang Rio sesali. Banyak yang hilang dari impian Restu, tapi Restu tidak menyesalinya. Ini adalah jalan hidup Restu, dan Restu harus menjalaninya. Nyatanya Restu menemukan ketenangan yang lebih, dan belum pernah Restu rasakan sebelum ini.

“Senang sekali ibu mendengarnya.”

“Bu, sebenarnya Restu ini telah menemukan jalan hidupnya. Dia sekarang menjadi pimpinan sebuah perusahaan dan hidup nyaman walau tidak berlimpah harta,” kata pak Broto.

“Perusahaan apa itu?”

“Iya Bu, dan itu juga atas kebaikan Rio. Restu menyesal dulu sangat merendahkan Rio, ternyata dia bukan orang sembarangan, dan telah mengentaskan hidup Restu sehingga Restu bisa makan enak, dan tidur nyenyak.”

Lalu Restu menceritakan semua yang dialaminya kepada sang ibu, yang mendengarkannya penuh perhatian. Tentu saja bu Broto terkejut, tidak mengira Rio telah melakukan sesuatu yang penuh makna kepada orang yang dulu selalu merendahkannya. Bu Broto bersyukur, anak semata wayangnya bisa berbuat sesuatu yang sangat berlawanan dengan masa lalunya, dan benar-benar menyadari semua kesalahannya.

“Kamu akan kembali ke rumah kan Restu?” tanya ibunya menahan haru.

Restu merangkul ibunya.

“Restu akan sering datang menemui Ibu, tapi Restu tetap akan tinggal di bengkel, karena Restu memiliki tanggung jawab besar atas mengkel itu.”

Bu Broto tampak kecewa, tapi dia merasa senang karena Restu telah menjadi orang yang bertanggung jawab.

“Ibu, sekarang Restu ingin bertanya.”

“Bertanyalah, tentang apa?”

“Tentang Murni,” kata Restu sambil menundukkan wajahnya. Bayangan malam buruk itu kembali melintas, menghantam dadanya dan terasa sakit.

Bu Broto menatap suaminya, yang berdiri termangu di sampung Restu, saat Restu menyebut nama Murni.

“Kamu tahu apa yang terjadi atas dia?” tanya pak Broto.

“Restu pernah bertemu, beberapa minggu yang lalu. Apa dia sudah menikah?”

“Menikah? Itukah menurutmu?”

“Restu tidak tahu. Saat melihatnya, dia langsung kabur. Jadi Restu tidak sempat bicara, padahal Restu ingin mengatakan sesuatu.”

“Tidak bisa di sangkal, dia pasti benci sama kamu.”“Restu melihat perutnya besar, itu sebabnya Restu bertanya, apakah dia menikah?”

“Tidak. Bayi yang dikandung itu adalah darah dagingmu,” kata pak Broto, sementara bu Broto kembali berlinang air mata.

“Ya Tuhan,” keluh Restu sambil menundukkan wajahnya.

“Apa yang akan kamu lakukan?” tanya pak Broto.

“Di mana dia sekarang? Waktu Restu ketemu, dia tidak di tempat yang dekat dengan rumah.”

“Dia menjauh, dan berbohong sama simboknya, jadi dia berbohong, mengatakan pergi bekerja di Jakarta.”

“Sesungguhnya dia di sini saja?”

“Ya. Dia bekerja di kantornya Rio. Tidak di rumah Wulan untuk sementara, pastinya smpai anaknya lahir.”

“Apa yang ingin kamu lakukan?”

“Restu ingin bertemu dia, dan menikahinya,” katanya lirih.

Pak Broto merangkul pundah Restu penuh haru. Ia bangga anaknya punya rasa tanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya.

“Tapi dia sangat benci sama kamu, Restu,” kata bu Broto lirih.

“Restu akan menemuinya dan mencoba bicara.”

“Semoga yang terbaik untuk kalian Nak, ibu bangga kamu bisa melakukan hal yang seharusnya kamu lakukan,” kata bu Broto sambil mengusap air matanya.

Pagi itu Murni sedang bersiap untuk merangkat bekerja. Ia sedang makan pagi dengan lahap. Heran juga Murni, mengapa semakin besar kandungannya, semakin besar juga nafsu makannya. Ia menghabiskan sepiring nasi dan saemangkuk sup, yang dimasaknya pagi sebelum mandi.

Tiba-tiba ponselnya berdering.

“Dari bu Wulan,” gumam Wulan sambil meraih ponsel yang terletak di meja.

“Murni?” sapa Wulan dari seberang.

“Lagi ngapain, kamu Mur? Sudah mandi kah?”

“Sudah mandi Bu, baru selesai sarapan, lalu mau berangkat bekerja.”

“Oh, syukurlah. Aku hanya ingin bilang, nanti sore jadwal kamu kontrol kan>”

“Iya Bu. Tapi bu Wulan tidak usah repot-repot mengantarkan, saya bisa berangkat sendiri.”

“Tapi aku ingin melihat dengan mata kepalaku sendiri, bagaimana wajah anak laki-lakiku,” kata Wulan bersemangat. Tapi entah mengapa, perkataan Wulan itu membuat Murni merasa tidak senang. Kata ‘anakku’ terasa sangat sumbang di telinga Murni. Perlahan dia mengelus perutnya, dan berbisik dalam hati, kamu anakku bukan? Bukan anak siapa-siapa.

“Murni, kamu masih di situ?” seru Wulan karena Murni diam beberapa saat lamanya.

“Oh, eh … iya Bu, ini … sambil mengangkut piring kotor ke tempat cucian.

“Baiklah, jam berapa nanti periksa? Seperti biasanya kan?”

“Ya, tapi saya kira saya akan sendiri saja, tidak usah bu Wulan mengantarkannya.”

“Mengapa Murni? Kamu tidak suka?”

“Bukan, Nggak enak saja karena merepotkan bu Wulan, sementara saya bisa melakukannya sendiri.”

“Murni, kamu lupa bahwa yang kamu kandung adalah anakku?” kata Wulan sambil tertawa.

Tapi kembali perkataan itu membuar Murni merasa tidak suka.

“Ya sudah Bu, maaf, saya akan segera masuk kerja, takut terlambat.”

“Sebentar Murni, aku ingin mengatakan sesuatu.”

“Mas Restu ingin menemui kamu.”

“Tidak, saya tidak mau ketemu dia,” katanya tandas.

Murni meletakkan ponselnya, dan merenung sejenak. Sungguh Murni tidak suka, Wulan ikut campur dalam memikirkan kandungannya. Sekarang Murni sedang berpikir, bagaimana caranya mencegah Wulan menjamah apalagi menguasai anaknya. Apalagi Wulan mengatakan bahwa Restu ingin menemuinya. Tidak, Murni tidak mau melihat tampang laki-laki yang telah merobek masa depannya menjadi kepingan-kepingan kecil yang berterbangan dan rapuh saat angin menerpanya.

“Aku harus pergi,” gumamnya sambil bersiap pergi bekerja.

Bersambung ke Jilid 35